21 Februari 1888.
Marie-ku yang terkasih. Kamu tak bisa membayangkan betapa cantiknya hadiah papa kepadaku pekan yang lalu. Aku percaya bahwa jika aku memberimu hadiah seratus atau seribu kali lipat, aku yakin kamu tak akan bisa mengerti apa artinya itu. Baiklah, papaku yang terkasih membelikan aku seekor anak domba yang baru lahir, yang berwarna putih dan halus bulunya. Dia berkata bahwa sebelum aku memasuki Karmel, dia ingin aku merasakan kebahagiaan ini. Kami semua merasa bahagia, terutama Céline. Apa yang lebih menyentuh hatiku dari pada yang lainnya adalah bahwa papa selalu termenung. Anak domba itu adalah simbolis saja, namun ia membuatku ingat akan Pauline.
Sejauh ini semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Dan kini lihatlah hasilnya. Kita telah membangun istana-istana di angkasa, dan berharap agar dalam waktu dua atau tiga hari anak domba itu akan melompat-lompat dengan riang gembira disekitar kita. Namun makhluk yang cantik itu ternyata mati pada malam itu juga. Malang sekali, seharusnya ia tidak usah lahir jika harus menderita dan mati. Ia nampak sangat lembut dan tak berdosa sehingga Céline sampai menggambar sketsa darinya, dan kemudian kami meletakkannya didalam lubang kuburnya yang digali oleh papa. Ia nampak seperti tidur. Aku tidak ingin tanah menjadi selimutnya, maka kami menaruh butiran-butiran salju padanya, dan kemudian semuanya selesai.
Kamu tidak tahu, Ibu Permandianku yang terkasih, betapa kematian makhluk kecil ini membuatku merenung. Memang kita tak boleh terikat kepada segala sesuatu, betapapun sesuatu itu tidak bersalah, karena sesuatu itu bisa lepas dari genggaman kita pada saat kita tidak mengharapkan terjadi. Hanya sesuatu yang kekal saja yang bisa memuaskan kita. (Bersambung)