IV
(Ditulis selama retret sebelum penerimaan secara resmi didalam Karmel)
(Ditulis selama retret sebelum penerimaan secara resmi didalam Karmel)
September, 1890.
Ibuku yang terkasih. Pertapa kecilmu ini harus melaporkan perjalanannya. Sebelum mulai, Kekasihku telah bertanya kepadaku, ke tempat mana aku ingin pergi, dan jalan mana yang akan kulalui. Aku berkata kepadaNya bahwa aku hanya memiliki satu keinginan, mencapai puncak Gunung Kasih.
Karena itu meskipun ada banyak jalan yang terbentang dihadapanku, yang semuanya nampak sempurna, hingga aku merasa tak mampu memilih satu diantaranya dengan keinginanku sendiri. Kemudian aku berkata kepada Penuntun Ilahiku: “Engkau tahu kemana tujuan dari keinginanku, dan bagi Siapa aku akan mendaki Gunung itu. Engkau tahu Siapa yang memiliki kasih yang ada didalam hatiku ini. Hanya bagi Dia saja aku melakukan perjalanan ini, karena itu tuntunlah aku di jalan yang Kau pilih, maka kebahagiaanku akan menjadi penuh hanya jika Dia berkenan denganku”.
Dan Tuhan kita menggandeng tanganku dan menuntunku melewati jalan bawah tanah, dimana disitu tidak terasa panas maupun dingin, dimana matahari tidak bersinar, dan tak ada hujan dan angin disitu. Sebuah tempat dimana aku tidak bisa melihat apa-apa, kecuali cahaya remang-remang, cahaya yang memancar dari mata di wajah Yesus.
Adalah Mempelaiku itu tidak berkata apa-apa, dan aku juga tidak berkata apapun yang menyatakan bahwa aku lebih mengasihi Dia dari pada diriku sendiri. Dan di kedalaman hatiku aku tahu bahwa hal ini memang benar, bahwa diriku lebih menjadi milikNya dari pada milikku sendiri. Aku tak bisa melihat bahwa kami sedang berjalan maju menuju tujuan perjalanan kami, karena kami berjalan dibawah tanah. Dan tanpa aku mengetahui bagaimana, terasa bagiku bahwa kami sedang mendekati puncak Gunung.
Aku berterima kasih kepada Yesus karena membawaku berjalan di kegelapan, dan didalam kegelapan ini aku merasakan damai yang besar. Dengan rela aku berniat untuk tetap tinggal dan menghabiskan seluruh kehidupan religiusku di jalan yang gelap ini, di tempat mana Dia menuntunku. Aku hanya ingin agar kegelapanku ini mendatangkan terang bagi para pendosa. Aku sudah merasa puas, bahagia, jika tanpa menerima penghiburan sama sekali. Aku akan merasa malu jika kasihku sama seperti mempelai di dunia ini, yang hanya mencari berbagai hadiah dari tunangannya, atau berusaha mencari senyuman kasih yang menyenangkan mereka.
Thérèse, mempelai kecil dari Yesus, hanya mengasihi Dia saja, dia hanya memandang Wajah Kekasihnya untuk menyaksikan sekilas Air Mata yang membahagiakannya dengan kegiuran yang diam-diam. Dia ingin mengusap Air Mata itu, atau mengumpulkannya laksana intan yang amat berharga yang menghiasi pakaian pengantinnya. Yesus ! ... Oh aku ingin mengasihiNya ! Mengasihi Dia seperti yang belum pernah dirasakanNya.
Dengan ongkos berapapun besarnya, aku harus bisa memenangkan daun palma St.Agnes, dan jika hal itu tak bisa kuperoleh dengan darah, aku akan memperolehnya dengan Kasih. (Bersambung)
Karena itu meskipun ada banyak jalan yang terbentang dihadapanku, yang semuanya nampak sempurna, hingga aku merasa tak mampu memilih satu diantaranya dengan keinginanku sendiri. Kemudian aku berkata kepada Penuntun Ilahiku: “Engkau tahu kemana tujuan dari keinginanku, dan bagi Siapa aku akan mendaki Gunung itu. Engkau tahu Siapa yang memiliki kasih yang ada didalam hatiku ini. Hanya bagi Dia saja aku melakukan perjalanan ini, karena itu tuntunlah aku di jalan yang Kau pilih, maka kebahagiaanku akan menjadi penuh hanya jika Dia berkenan denganku”.
Dan Tuhan kita menggandeng tanganku dan menuntunku melewati jalan bawah tanah, dimana disitu tidak terasa panas maupun dingin, dimana matahari tidak bersinar, dan tak ada hujan dan angin disitu. Sebuah tempat dimana aku tidak bisa melihat apa-apa, kecuali cahaya remang-remang, cahaya yang memancar dari mata di wajah Yesus.
Adalah Mempelaiku itu tidak berkata apa-apa, dan aku juga tidak berkata apapun yang menyatakan bahwa aku lebih mengasihi Dia dari pada diriku sendiri. Dan di kedalaman hatiku aku tahu bahwa hal ini memang benar, bahwa diriku lebih menjadi milikNya dari pada milikku sendiri. Aku tak bisa melihat bahwa kami sedang berjalan maju menuju tujuan perjalanan kami, karena kami berjalan dibawah tanah. Dan tanpa aku mengetahui bagaimana, terasa bagiku bahwa kami sedang mendekati puncak Gunung.
Aku berterima kasih kepada Yesus karena membawaku berjalan di kegelapan, dan didalam kegelapan ini aku merasakan damai yang besar. Dengan rela aku berniat untuk tetap tinggal dan menghabiskan seluruh kehidupan religiusku di jalan yang gelap ini, di tempat mana Dia menuntunku. Aku hanya ingin agar kegelapanku ini mendatangkan terang bagi para pendosa. Aku sudah merasa puas, bahagia, jika tanpa menerima penghiburan sama sekali. Aku akan merasa malu jika kasihku sama seperti mempelai di dunia ini, yang hanya mencari berbagai hadiah dari tunangannya, atau berusaha mencari senyuman kasih yang menyenangkan mereka.
Thérèse, mempelai kecil dari Yesus, hanya mengasihi Dia saja, dia hanya memandang Wajah Kekasihnya untuk menyaksikan sekilas Air Mata yang membahagiakannya dengan kegiuran yang diam-diam. Dia ingin mengusap Air Mata itu, atau mengumpulkannya laksana intan yang amat berharga yang menghiasi pakaian pengantinnya. Yesus ! ... Oh aku ingin mengasihiNya ! Mengasihi Dia seperti yang belum pernah dirasakanNya.
Dengan ongkos berapapun besarnya, aku harus bisa memenangkan daun palma St.Agnes, dan jika hal itu tak bisa kuperoleh dengan darah, aku akan memperolehnya dengan Kasih. (Bersambung)