VI
1897
Di dunia ini dimana segalanya selalu berubah, hanya ada satu saja yang tidak berubah, yaitu perlakuan yang diterima oleh Raja Surgawi dari para sahabatNya. Dari sejak saat Dia menegakkan fondasi Salib, maka didalam bayangnya semua orang harus bertempur dan menang. “Kehidupan setiap misionaris berkisar disekitar salib-salib”, demikian kata Théophane Vénard. Juga “Kebahagiaan sejati berada didalam penderitaan, dan agar bisa hidup maka kita harus mati”.
Maka berbahagialah saudaraku, misionaris, bahwa usaha pertama dari perutusanmu ditandai dengan meterai Salib. Yesus ingin membangun KerajaanNya lebih banyak dengan melalui penderitaan dan penganiayaan dari pada dengan kepandaian lidah dalam berbicara.
Kamu mengatakan kepadaku, bahwa dirimu masih seperti anak kecil yang tak bisa berbicara. Begitu juga dengan Pastor Mazel yang ditugaskan bersamamu, namun dia telah mendapatkan daun palma kemenangannya. Pemikiran Allah adalah jauh melebihi pemikiran kita ! Ketika aku tahu bahwa misionaris muda ini meninggal sebelum dia menginjakkan kaki di medan perjuangannya, maka aku tergerak untuk menyebut namanya. Aku merasa seolah melihatnya berada ditengah paduan suara para martir yang mulia. Tidak ragu lagi, di mata manusia dia tak layak menerima julukan sebagai martir, namun di mata Tuhan maka kematian yang tak kelihatan ini tidak kurang berharganya dibandingkan dengan kurban orang yang merelakan nyawanya demi Iman.
Meskipun seseorang haruslah dalam keadaan murni sempurna sebelum hadir dihadapan mata Allah Yang Maha Kudus, namun aku tahu bahwa Dia amat adil tak terhingga, dan KeadilanNya inilah yang menakutkan banyak sekali jiwa-jiwa dan sekaligus menjadi sumber dari segala kepercayaanku dan kebahagiaanku. Keadilan bukan saja berarti sikap keras dan tegas terhadap orang yang bersalah, tetapi keadilan itu juga berarti memperhitungkan niatan baik seseorang, dan memberikan ganjaran atas keutamaan yang telah dilakukan orang itu. Tentu saja aku berharap sebanyak mungkin dari Keadilan Tuhan sama seperti aku berharap akan Kerahiman dariNya. Karena Dia adil itulah maka “Dia berbelas kasihan dan mau menderita, serta berlimpah kerahimanNya. Karena Dia tahu keadaan kita, Dia ingat bahwa kita hanyalah debu semata. Seperti seorang ayah yang berbelas kasihan terhadap anak-anaknya maka Tuhan juga berbelas kasihan terhadap kita semua (Mzm.102[103]:8, 14, 13).
Oh saudaraku, seminaris, setelah mendengar kalimat yang cukup menghibur dari Nabi Kerajaan ini, bagaimana kita bisa ragu akan kuasa Allah untuk membuka pintu-pintu KerajaanNya bagi anak-anakNya yang mengasihiNya hingga mau melakukan kurban yang sempurna, yang bukan saja mau meninggalkan rumahnya, negaranya, dan yang berusaha membuatNya dikenal dan dikasihi, bahkan hingga mereka ingin menyerahkan nyawanya bagiNya ? Yesus bersabda bahwa tak ada kasih yang lebih besar dari pada tindakan ini. Diapun tak bisa dikalahkan dalam hal kemurahan kasihNya. Bagaimana mungkin Dia akan membersihkan jiwa-jiwa yang dikuasai oleh Kasih Ilahi didalam nyala Api Penyucian ?
Aku telah menggunakan banyak kalimat untuk menyatakan isi pikiranku. Namun aku khawatir hal itu masih belum sempurna. Apa yang ingin kusampaikan adalah bahwa menurut pendapatku semua misionaris adalah martir dengan melalui keinginan dan cita-cita mereka. Dan tidak satupun yang akan melewati Api Penyucian.
Inilah yang kemudian kupikirkan tentang Keadilan Tuhan. Jalanku sendiri adalah berupa kepercayaan dan kasih. Dan aku tak bisa mengerti akan jiwa-jiwa yang merasa takut kepada Sahabat yang amat penuh perhatian ini. Kadang-kadang ketika aku membaca buku, dimana kesempurnaan disuguhkan kepada kita bersama sekian banyak penghalang yang menghadang tercapainya tujuan kita, maka kepalaku yang hina ini segera merasa penat.
Aku menutup segala buku-buku pintar yang melelahkan otakku dan mengeringkan hatiku, dan kemudian aku berpaling kepada Kitab Suci. Maka semuanya menjadi jelas dan terang, sebuah kata telah membuka cakrawala yang tak terhingga luasnya, kesempurnaan nampak mudah dilaksanakan, dan aku melihat bahwa sudah cukuplah dengan mengakui kehampaan kita dan bersikap seperti anak-anak yang menyerahkan dirinya ke Tangan Tuhan Yang Maha Baik.
Dengan pikiran-pikiran yang besar dan luhur maka buku-buku yang indah itu yang tak bisa kumengerti maknanya, yang masih kurang kulaksanakan, aku merasa bahagia didalam kekerdilanku, karena ‘hanya anak-anak kecil dan mereka yang seperti itu akan diijinkan memasuki perjamuan Surgawi’ (Mat. 19:14). Untungnya ‘ada banyak tempat tinggal di Rumah BapaKu’ (Yoh. 14:2). Seandainya disana hanya ada tempat-tempat tinggal yang tak dapat dipahami bersama jalan-jalannya yang amat sulit, maka aku tak akan bisa masuk kesana..... (Bersambung)