Pandangan Paus atas Gereja
(seperti disampaikan kepada seorang atheis)
Oleh Paul Simmons
Pada
bulan keenam dari masa pemerintahan kepausannya, Paus Francis mengguncang dunia
Katolik dengan serangkaian wawancara yang penting untuk disimak dengan seorang Eugenio
Scalfari – seorang editor atheis dan pendiri sebuah penerbitan anti-Katolik dan
historis fanatik, berjudul "La Repubblica". Paus Francis awalnya
mengajukan surat kepada Scalfari pada tanggal 11 September 2013, yang ditindak-lanjuti
dengan wawancara tatap muka pada tanggal 1 Oktober 2013. (Hasil wawancara lihat
pada link berikut : http://www.repubblica.it/cultura/2013/10/01/news/pope_s_conversation_with_scalfari_english-67643118/)
Scalfari yang atheis itu, secara
historis dia bersikap kritis terhadap lembaga kepausan dan Gereja Katolik, dan pada akhir wawancara itu dia berkata :”Inilah
Paus Francis. Jika
Gereja menjadi seperti apa yang dia bayangkan dan
inginkan, maka hal itu merupakan perubahan atas sebuah
zaman."
Wawancara itu, jika diamati lebih teliti, adalah merupakan ringkasan
singkat dari pandangan Paus Francis yang mencakup keseluruhan pandangannya atas Gereja Katolik. Sementara publikasi Katolik yang konservatif
menyuarakan keprihatinan mereka dengan
berbagai masalah yang diangkat dalam wawancara
itu, maka banyak media sekuler
yang menyambut hangat pandangan baru Paus
Francis bagi Gereja itu.
Pandangan
ini, seperti yang akan kita lihat selanjutnya dalam artikel ini, adalah sebuah langkah
baru yang mencolok yang berbeda dari garis jalan yang diikuti oleh para paus
sebelumnya. Scalfari meringkaskan beberapa ‘inovasi’, sebagaimana dia
menyebutnya, dari paus baru yang telah memenangkan banyak hati dari media
sekuler: "Misinya berisi dua inovasi
yang menghebohkan : Gereja Francis yang malang, Gereja horizontal Martini, dan yang
ketiga : Allah yang tidak menghakimi, tetapi mengampuni. Tidak ada hukuman, dan
karena itu : tidak ada neraka".
Setelah
banyak kontroversi, teks lengkap dari wawancara itu dihapus dari situs resmi
Vatikan, setelah awalnya dipublikasikan secara penuh.
Apakah yang dikatakan Paus dalam wawancara
itu? Dalam artikel ini kita
mengutip beberapa poin yang penting, serta pendapat
pribadi dan analisis penulis
mengenai hal ini.
Apakah masalah paling urgent yang dihadapi Gereja?
Menurut paus,
"Kejahatan paling serius
yang saat ini melanda dunia adalah pengangguran di kalangan kaum muda dan kesendirian yang dialami
oleh kaum jompo. Hal ini, menurut pendapat saya, adalah masalah yang paling mendesak yang
dihadapi Gereja".
Menurut kami, meskipun benar bahwa pengangguran kaum muda adalah masalah serius, haruskah hal ini menjadi prioritas nomor satu didalam Gereja?
Gereja Katolik bukanlah sebuah LSM. Gereja Katolik bukanlah sektor swasta. Juga Gereja Katolik bukanlah
pemerintah. Pengangguran kaum muda
adalah masalah sosial yang harus menjadi tanggung jawab utama pemerintah, dengan kerjasama dari LSM dan
sektor swasta.
Pada tingkat
praktis, meski jika ia diminta,
Gereja tidak memiliki
sarana dan sumber daya untuk memecahkan
masalah ini. Para imam tidak
dilengkapi atau dilatih untuk
memecahkan masalah ini. Pembentukan imam bukan untuk memecahkan persoalan pengangguran kaum muda – pembentukan imam adalah belajar mengenai Iman Katolik
dan Spiritualitas Katolik, sehingga imam kemudian
dapat menyampaikan hal ini kepada kawanan mereka.
Jika mengatasi pengangguran kaum muda menjadi prioritas nomor
satu dari Gereja, apakah ini
berarti bahwa para imam harus
menghabiskan lebih banyak waktu mencari
cara untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum muda? Melakukan hal ini akan berarti imam menghabiskan
lebih banyak waktu pada urusan duniawi,
urusan sekuler -
bekerja sama dengan sektor swasta untuk
mempromosikan pekerjaan, mengadakan
berbagai macam pameran lapangan kerja, mendorong bisnis lokal dan industri, bahkan mungkin meluncurkan bisnis yang mempromosikan lapangan kerja milik
mereka sendiri. Industri swasta dan
pemerintah adalah satu-satunya yang
dapat memecahkan masalah pengangguran
ini, bukan Gereja.
Imam BUKANLAH pekerja LSM. Imam bukanlah pengusaha. Imam bukanlah
pegawai pemerintah. Imam adalah, pertama
dan terutama, pengasuh dan pemelihara jiwa-jiwa. Tujuan utama dari imam haruslah
untuk membantu kemajuan rohani dari kawanan
mereka agar bisa naik ke surga. Surga
adalah tujuan akhir. Sakramen-sakramen,
Ekaristi, Pengakuan, Pembaptisan, dll - adalah sarana spiritual yang diperlukan
oleh kawanan yang tak bisa diberikan oleh orang lain
kecuali oleh imam.
Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, "Apakah untungnya bagi seseorang untuk memperoleh seluruh dunia
tetapi kehilangan jiwanya dalam proses itu?" Jika kita bawa kalimat ini dalam konteks masalah pengangguran
kaum muda: "Apa untungnya
bagi seluruh kaum muda di dunia untuk mencari
mendapatkan yang baik tetapi
kehilangan jiwa mereka dalam proses tersebut?" Apa
gunanya memberikan pekerjaan kepada
kaum muda jika mereka berakhir dengan
menyia-nyiakan kehidupan rohani mereka? Menyelamatkan jiwa-jiwa adalah prioritas
yang paling penting dari imam - dan Gereja pada
umumnya.
Mengenai aborsi, Kehidupan
Jika para paus sebelumnya telah menekankan perjuangan untuk hidup dan perlindungan bagi bayi yang belum lahir,
serta pelestarian dogma Katolik di tengah-tengah
dunia sekuler, maka paus Francis malah menghapuskan penekankan masalah ini. Dalam
sebuah wawancara dengan "La Civilta
Cattolica", dia berkata: "Kami tidak bisa memaksa untuk hanya
memperhatikan isu-isu yang berkaitan
dengan masalah aborsi, pernikahan
gay dan penggunaan metode
kontrasepsi. Ini tidaklah mungkin
... tidaklah perlu terus menerus membicarakan masalah ini... "
Selain itu, dia juga menekankan: "Ajaran dogmatis dan moral gereja
tidak semuanya setara. Pelayanan pastoral gereja tidak boleh terobsesi dengan penyebaran berbagai doktrin yang
tidak saling berhubungan untuk kemudian diberlakukan secara terus menerus."
Sebagai hasil dari wawancara ini, surat
kabar dan publikasi sekuler di seluruh dunia berteriak pada
headline mereka: "Paus
mengatakan bahwa Gereja terobsesi dengan
masalah Gay, Aborsi dan Keluarga Berencana" (New York Times); "Paus berkata bahwa Gereja harus mengakhiri obsesi pada masalah gay, kontrasepsi, aborsi" (Reuters); "Katolik Amerika memperhatikan tindakan paus yang mengecilkan isu-isu
sosial"(CNN).
Beberapa klinik
aborsi bahkan bertindak lebih jauh dengan menempatkan kata-kata paus
("Kami tidak bisa memaksa untuk
hanya memperhatikan isu-isu yang
berkaitan dengan masalah aborsi...” ) di tempat praktek mereka. NARAL, sebuah
organisasi besar yang pro-choice dan
pro-aborsi di
Amerika Serikat, memposting catatan di halaman Facebook mereka
sehari setelah wawancara Paus: "Paus Francis
yang terkasih, terima kasih. Tanda tangan : Perempuan Pro-Choice di
mana-mana."
Perkawinan sejenis
Paus juga
menjadi berita utama di seluruh dunia
ketika pada wawancara di dalam
sebuah pesawat, setelah Hari Pemuda sedunia di
Brasil, dia menyatakan kepada
wartawan: "Jika seseorang itu
gay dan dia
mencari Tuhan dan memiliki
niat yang baik, siapakah aku ini
hingga berhak untuk menghakiminya?" Hal ini berbeda dengan Paus Benediktus XVI yang,
sementara menekankan perlunya untuk menghormati orang-orang dengan kecenderungan homoseksual, dia juga menekankan
bahwa "kecenderungan
homoseksual yang mendalam ...
adalah sebuah penyimpangan yang disengaja."
Komentar yang sederhana, satu baris itu, memicu gelombang berita utama di seluruh dunia. Koran-koran sekuler berteriak:
"Paus memberi tanda keterbukaan
terhadap imam-imam gay"
(Wall Street Journal); "Paus Francis mengatakan bahwa dia tidak akan menghakimi imam-imam yang gay"
(Fox News); "Paus memberi tempat pijakan yang baru bagi imam-imam gay dan imam-imam
perempuan" (Forbes).
Beberapa
politisi yang mendorong pengesahan perkawinan homoseksual juga berpegangan
kepada perkataan paus ini. Illinois baru saja menjadi negara ke-16 di Amerika
Serikat yang melegalkan homoseksualitas, dan beberapa politisi Katolik, yang
sebelumnya tidak yakin akan sikap mereka, mengutip perkataan paus ini sebagai
dasar untuk melakukan "perubahan hati" mereka yang menyebabkan mereka
menyetujui keputusan itu. Michael Madigan, pembicara dari DPR Illinois,
mengutip perkataan paus dalam mendukung keputusan itu. Dalam pidato terakhirnya
selama pembahasan RUU, Madigan mengatakan:
...
Kutipan yang saya sampaikan ini adalah dari perkataan Paus Francis dari Gereja
Katolik Roma, yang mengatakan, "Jika
seseorang itu gay dan dia mencari Tuhan dan memiliki
niat yang baik, siapakah aku ini
hingga berhak untuk menghakiminya?." Paus Francis telah berbicara, dan dia telah membentuk
dasar pemikiran saya tentang masalah ini ... Bagi mereka yang telah menjadi gay
– dan hidup didalam relasi yang harmonis, produktif namun ilegal - siapakah aku
ini hingga berani menilai bahwa mereka hidup secara ilegal?
Perubahan besar dalam hal Penekanan
Sementara nampaknya tidak ada perubahan yang jelas dalam doktrin yang
berkaitan dengan perkawinan dan pendirian Gereja tentang masalah aborsi, tetapi ada
perubahan yang sangat jelas dalam
penekanan. Banyak umat Katolik konservatif, terlibat di tengah-tengah pertempuran sengit dengan pemerintah tentang isu-isu seperti pernikahan gay dan
aborsi, tengah mengalami
kebingungan.
Banyak umat Katolik telah membela Paus, dengan
mengatakan bahwa media sekuler
telah mengutip perkataan Paus Francis
'di luar konteks’ dan memanfaatkannya
untuk mengambil keuntungan dari sini guna mempromosikan
tujuan mereka sendiri. Mereka menekankan
bahwa Paus benar-benar tidak merubah satupun ajaran Gereja
didalam perkataan ini. Tetapi, sementara
hal itu benar, yang jelas adalah bahwa telah terjadi perubahan yang sangat
jelas sekali didalam penekanan
yang tidak bisa ditafsirkan dengan cara
lain kecuali berikut ini : kita
tidak boleh "terlalu
terobsesi" dengan isu-isu seperti
perjuangan untuk hidup dan pertahanan keluarga. Perjuangan untuk hidup dan
pertahanan keluarga BUKANLAH masalah
yang paling penting yang dihadapi Gereja saat ini.
Pembantaian jutaan jiwa-jiwa yang tak berdaya, bayi-bayi yang belum lahir, adalah BUKAN
MENJADI prioritas kita. Pertahanan
unit keluarga tradisional - pandangan bahwa pernikahan
adalah hanya antara seorang pria dan seorang wanita – BUKANLAH prioritas kita. Memerangi upaya pemerintah untuk melegalkan aborsi dan pernikahan homoseksual
di negara kita BUKANLAH prioritas kita. Sebaliknya, prioritas kita harus difokuskan pada pemecahan masalah "pengangguran
di kalangan kaum muda" dan "kesepian yang dialami oleh kaum
jompo."
Pesan yang halus namun berbahaya bagi umat Katolik, khususnya pendukung
pro-kehidupan, adalah ini : Tenanglah, jangan terlalu terobsesi dengan masalahmu. Gerakan pro-kehidupan BUKANLAH prioritas Gereja. Daripada
menghabiskan begitu banyak waktu mengajukan
petisi kepada pemerintah dan
Mahkamah Agung untuk mempertahankan
hidup dan keluarga, kita harus menghabiskan lebih banyak waktu guna
membantu menciptakan lapangan pekerjaan bagi kaum muda.
Apakah pengangguran
kaum muda adalah lebih penting
daripada pembantaian jutaan
bayi tak bersalah didalam rahim ibu mereka? Apakah pengangguran
kaum muda lebih penting daripada pertahanan
unit keluarga tradisional – yang merupakan landasan dari
terbentuknya masyarakat? Bukankah
ketika Anda menghancurkan keutuhan keluarga, Anda menghancurkan masyarakat? Lihatlah kepada dunia Barat saat ini -
itu adalah masyarakat yang sedang
menjadi busuk dan runtuh moralnya. Pada
akar dari pembusukan dan
keruntuhan ini adalah berupa kehancuran
keluarga - melalui
perceraian, pernikahan gay, aborsi.
Adakah ‘Allah Katolik’ ?
Paus berkata
kepada Scalfari: "...
Saya percaya pada Tuhan. Bukan sebagai
Tuhan Katolik, Tuhan Katolik itu tidak ada ".
Apakah yang menjadi masalah
dengan pernyataan di atas? Ini pada dasarnya memberitahu kita bahwa pandangan Katolik akan Allah bukan
satu-satunya pandangan yang benar mengenai Allah. Setiap agama memiliki
pandangannya sendiri akan Allah. Bagi
umat Islam, Tuhan adalah Allah
- Yesus Kristus bukan
Allah, Dia hanya seorang nabi.
Bagi umat Buddha, Tuhan bukanlah sebuah entitas nyata, Makhluk
nyata, tetapi adalah sebagai "nirwana" – sebuah keadaan pikiran. Bagi pemuja setan, "Allah" mereka adalah "Arsitek Agung
Alam Semesta" - Lucifer,
"cahaya".
Berdasarkan pernyataan paus, maka berbagai
pandangan mengenai Allah ini adalah benar semua. Tidak ada tafsir tunggal akan Allah yang benar.
Penafsiran Katolik mengenai Tuhan tidak ada. Dengan
kata lain, pandangan kita tentang Allah sebagai Tritunggal Mahakudus - Bapa, Putera dan Roh
Kudus - bukan satu-satunya
pandangan yang valid mengenai Allah. Pandangan Islam
berlaku juga. Pandangan
Buddhis adalah baik-baik saja. Bahkan pandangan setan - baik juga.
Tapi bukankah seperti itu yang harus kita
pegang teguh soal pandangan Katolik mengenai Allah? Pandangan Katolik
mengenai Allah adalah Tritunggal Mahakudus. Yesus bukan hanya seorang
nabi, tetapi Anak Allah yang menjadi manusia. Bukankah kita harus menekankan bahwa
pandangan Katolik mengenai Allah
adalah pandangan yang satu dan benar? Pandangan Katolik mengenai Allah ini bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan. Ia tak dapat dikompromikan. Kita tidak bisa menerima interpretasi Muslim mengenai Allah yang
menyangkal keilahian Yesus.
Kita tidak bisa menerima pandangan
Buddhis bahwa Tuhan bukanlah sebuah entitas nyata tetapi hanya "keadaan pikiran." Kita tidak bisa menyelaraskan pandangan
Katolik tentang Allah demi "ekumenisme" dan "kesatuan" dengan saudara-saudara non-Kristen.
Adakah Kebenaran dan Kesalahan yang
mutlak?
Scalfari bertanya kepada Paus : "Yang Mulia, apakah hanya ada satu pandangan mengenai Kebaikan? Dan
siapa yang menentukan hal itu baik atau
tidak? "
Paus
menjawab :
Masing-masing dari kita memiliki pandangan sendiri mengenai Baik dan juga mengenai Buruk. Kita harus mendorong hal itu (pandangan itu) untuk
bergerak menuju apa yang dirasakan
seseorang sebagai Baik ... saya mengulanginya. Setiap
orang memiliki ide sendiri
mengenai Baik dan Buruk dan dia harus
memilih untuk mengikuti yang Baik dan memerangi yang Buruk karena dia telah mengerti hal itu. Hal ini sudah cukup
untuk memperbaiki dunia.
Dalam surat aslinya untuk Scalfari,
Paus menguraikan tentang masalah di atas:
Pertanyaan bagi orang yang tidak percaya pada Tuhan terletak pada mentaati suara hati nurani seseorang. Dosa, termasuk bagi mereka yang tidak memiliki
iman, terjadi ketika seseorang bertindak bertentangan
dengan hati nuraninya. Jadi kenyataanya, mendengarkan dan mematuhi itu berarti memutuskan untuk menghadapi apa yang dianggap sebagai baik atau buruk. Dan pada keputusan inilah bergantung kebaikan
atau keburukan dari
tindakan kita.
Pernyataan Paus diatas atas adalah sebuah bentuk relativisme moral - sebuah bidaah yang
berbahaya, yang jika diterima oleh dunia, akan
menyebabkan diterimanya perbuatan dosa. "Masing-masing dari kita memiliki pandangan
sendiri atas Baik dan Buruk"
- dengan kata lain, tidak ada kebenaran mutlak. Tidak ada tatanan moral yang absolut. Tak ada lembaga, tak ada
Gereja yang memiliki hak untuk secara pasti mengatakan apa
yang benar dan apa yang salah. Sepuluh
Perintah Allah tidak relevan lagi -- masing-masing dari
kita bisa menulis 10 Perintah Allah ini menurut versi kita sendiri. Setiap orang bebas untuk menilai sendiri apa
yang baik dan apa yang buruk.
Bayangkan apa akibatnya
jika pernyataan Paus ini diterima oleh dunia.
Teroris memiliki ‘pandangannya
sendiri atas baik dan buruk.’ Baginya, tindakan memenggal kepala orang yang tidak bersalah demi Allah adalah ‘baik’.
Meledakkan dirinya untuk membunuh dan
melukai ratusan orang adalah ‘baik’
-- itu adalah
tiket ke surga. Tidak ada yang
salah dengan tindakan-tindakan
brutal mereka -- selama
mereka tidak melawan hati nurani dari si teroris itu yang, dalam pandangan pribadinya sendiri, menilai tindakan mereka itu sebagai
hal yang benar-benar ‘baik.’
Bagi remaja yang hamil, "pandangannya sendiri atas apa yang baik" adalah bahwa karena dia secara emosional
tidak siap untuk memiliki anak, dan dia tidak
memiliki sumber daya keuangan yang
diperlukan, maka sudah menjadi
haknya untuk mengakhiri kehamilan.
Bagi kaum homoseksual yang memutuskan untuk menikah, ‘pandangannya sendiri atas apa yang baik’ adalah
bahwa setiap orang yang sedang jatuh cinta, apapun
jenis kelamin pasangannya, mereka memiliki
hak untuk menikah. Bagi pejabat pemerintah yang menjarah dan mencuri uang rakyat, ‘pandangannya sendiri atas apa yang baik’ adalah
bahwa selama mereka dapat membantu orang-orang, entah uang dari mana itu,
adalah sah-sah saja untuk memperkayan dirinya meski melalui
korupsi. Daftar perbuatan seperti ini bisa terus
ditambahkan.
Untuk
mengatakan bahwa ‘masing-masing dari kita memiliki pandangan sendiri atas Baik
dan Buruk’ adalah sama dengan memberikan segala lisensi untuk melakukan apapun
yang dia ingin lakukan dalam hidup ini. Anda dapat melakukan apapun yang Anda
inginkan dalam hidup ini - melakukan aborsi, membunuh, melakukan fitnah,
mencuri – sepanjang perbuatan anda itu sejalan dengan ‘pandangan anda atas Baik
dan Buruk’. Setiap perbuatan dalam hidup ini adalah sah-sah saja, sepanjang
kita beralasan ‘memilih untuk mengikuti
yang Baik dan memerangi yang Buruk’, seperti yang dipahaminya saat itu.
Relativisme moral adalah Bidaah yang besar
Peter Kreeft, seorang penulis dan
pembela Katolik terkenal, memperingatkan kita terhadap relativisme moral.
Silakan lihat disini : (http://www.peterkreeft.com/audio/05_relativism/relativism_transcription.htm), dimana dia mengatakan bahwa itu
adalah ‘masalah paling penting
dari zaman kita’. Dia mendefinisikan relativisme
moral sebagai berikut:
Relativisme moral biasanya mencakup
tiga pengakuan : Bahwa moralitas
adalah bisa berubah, kedua, ia bersifat subjektif, dan ketiga, bersifat
individuil. Moralitas itu bersifat relativ terhadap perubahan waktu. Anda tidak
dapat memutar kembali waktu. Kedua, terhadap apa yang kita pikirkan atau rasakan secara subyektif,
maka tidak ada yang baik atau buruk,
tapi bagaimana kita berpikir itulah
yang membuatnya seperti itu. Dan ketiga,
bagi individu, penekanan yang berbeda
bagi orang yang berbeda. Absolutisme
moral mengakui bahwa ada prinsip-prinsip
moral yang tidak bisa diubah,
objektif, dan universal.
Bandingkan definisi diatas mengenai relativisme moral dengan pernyataan Paus Francis: "Masing-masing dari kita
memiliki pandangan sendiri atas Baik dan Buruk. Kita harus mendorong hal itu (pandangan itu)
untuk bergerak menuju apa yang dirasakan seseorang sebagai hal yang Baik ... saya mengulanginya. Setiap
orang memiliki ide sendiri
mengenai Baik dan Buruk dan dia harus memilih
untuk mengikuti yang Baik dan
melawan yang Buruk seperti yang dipahaminya saat itu. Hal
ini sudah cukup untuk
memperbaiki dunia".
Jelas sekali bahwa pernyataan
Paus (‘Masing-masing dari kita memiliki pandangan sendiri atas Baik
dan Buruk’) adalah sejalan dengan definisi Kreef tentang
relativisme moral: moralitas itu
bisa berubah, ia bersifat subyektif,
dan individual.
Kreeft mengatakan
bahwa ‘tidak ada masyarakat
yang bisa bertahan hidup tanpa menolak relativisme moral’ :
Relativisme moral adalah filsafat
yang menolak kemutlakan moral. Pikiran seperti itu bagi saya adalah tersangka utama, musuh nomor satu. Filosofi
ini telah memadamkan terang di benak
para guru kita, dan kemudian siswa mereka, dan akhirnya, jika tidak dirubah, akan memadamkan seluruh peradaban
kita. Oleh karena itu, saya
ingin bukan saja menyajikan contoh yang besar
yang menentang relativisme moral, tetapi juga untuk membantahnya, untuk membuka kedoknya, untuk membuatnya telanjang, merendahkannya dan untuk mempermalukannya ...
Seberapa pentingkah masalah ini? Masalah relativisme moral adalah isu yang paling penting dari zaman kita, karena tidak ada masyarakat dalam sejarah manusia yang bisa bertahan hidup tanpa menolak filosofi yang akan saya bantah ini.
Pandangan Paus Francis pada masalah ‘relativisme moral’
ini adalah bertolak belakang dengan pandangan
Paus Benediktus XVI yang
mengatakan bahwa relativisme moral
adalah sebuah bahaya yang harus diperangi oleh Gereja. Sesaat
sebelum para Kardinal mengikuti konklaf 2005 untuk memilih paus yang kemudian
memilih Yohanes Paulus II, Kardinal
Joseph Ratzinger, dekan College of Cardinals, memperingatkan
adanya bahaya relativisme moral.
Dia berkata: "Sebuah kediktatoran relativisme sedang dibentuk, yaitu yang tidak mengakui apapun sebagai hal
yang pasti dan yang memiliki tolok ukur
hanya pada diri sendiri dan keinginannya."
Apakah kita Wajib mengIkuti Pengajaran sesat?
Apakah boleh mengkritik Paus? Bukankah kita,
sebagai umat Katolik, wajib
mematuhi Paus dalam segala hal?
Seseorang mungkin akan menjawab bahwa dalam
kasus di mana Paus mengajarkan
ajaran sesat, maka kita bisa mengkritik Paus, dan
kita tidak wajib untuk mematuhinya
dalam kasus di mana ajarannya adalah sesat.
Ajaran yang mengatakan bahwa ‘masing-masing
dari kita memiliki pandangan sendiri
atas Baik dan Buruk’, seperti yang dikatakan oleh Paus Francis, adalah
relativisme moral dan hal itu merupakan
ajaran sesat yang jelas akan menyebabkan
gangguan yang luas dan dosa,
jika hal itu dipatuhi.
Canon 188.4
(1917 Kitab Hukum Kanonik) menyatakan bahwa jika seorang klerus (paus,
uskup, dll) menjadi
sesat, dia kehilangan jabatannya,
tidak memiliki hak untuk memberlakukan hukum. St Robert Bellarmine, St
Antonius, St Fransiskus de Sales,
St Alfonsus Liguori,
dan banyak teolog lainnya mengajarkan bahwa seorang bidaah tidak bisa menjadi paus yang valid. St
Alplhonsus mengatakan: "Jika Tuhan mengizinkan
seorang paus untuk menjadi sesat hingga terkenal dan
keras kepala, maka dengan kenyataan itu dia akan berhenti menjadi Paus,
dan kursi apostoliknya menjadi kosong."
St Robert
Bellarmine, S.J. juga menulis:
"Seperti halnya dibolehkan untuk
menentang Paus yang menyerang tubuh,
maka juga dibolehkan untuk menentang orang yang menyerang jiwa atau
yang mengganggu ketertiban
masyarakat, atau, lebih dari semuanya,
yang mencoba untuk menghancurkan Gereja.
Saya mengatakan bahwa adalah boleh
untuk melawannya dengan tidak melakukan
apa yang dia perintahkan dan mencegah
keinginannya untuk dilaksanakan."
Mengapa Paus berkata seperti ini?
Mengapa Paus
mengatakan hal-hal seperti ini? Pendapat pribadi penulis adalah bahwa saat ini kita
sedang menyaksikan penggenaan dari
nubuat yang telah diramalkan, tepat
di depan mata kita. Anne Catherine Emmerich Terberkati
memperoleh penglihatan atas sebuah gereja palsu di masa depan dalam periode sebelum Kedatangan Kedua dari Tuhan Yesus :"Aku juga melihat
hubungan antara dua paus ... saya melihat betapa buruknya akibat-akibat dari gereja palsu ini.
Aku melihatnya bertambah besar, segala
macam bidaah datang memasuki kota
Roma".
Banyak lagi nubuatan dan
penampakan lainnya meramalkan munculnya "Nabi
Palsu" yang ada di dalam Alkitab, yang
akan memimpin gereja menuju kesesatan, sebelum Kedatangan Kedua Yesus. Untuk informasi lebih lanjut tentang penglihatan
dan dan nubuatan, silakan membaca artikel ini. (http://www.all-about-the-virgin-mary.com/book-of-truth.html)
Perlunya bersikap Waspada
Apakah semua ini terlalu luar biasa bagi
kita? Pernyataan kontroversial
Paus Francis hendaknya
mendorong kita untuk merenungkannya dengan serius. Setidaknya - adakah Paus menjadi ceroboh, tidak
menyadari dampak dari pernyataan-pernyataannya
tentang moral umat manusia?
Atau apakah dia sedang membuka jalan
bagi lebih banyak lagi perubahan yang drastis?
Bagaimanapun juga, kita - terutama kaum
klerus dan religius - tak boleh bersikap
acuh tak acuh. Ada sebuah kutipan
terkenal: "Kejahatan akan tumbuh
subur ketika orang baik tidak melakukan apapun." Marilah kita
waspada dan terus berjaga. Lebih
dari itu, marilah kita berdoa untuk
Gereja kita tercinta – serta kedua paus.