Kamis, 1 Oktober 2009
Gereja mengadakan pesta bagi St. Thérèse of Lisieux
St. Thérèse dari Kanak-kanak Yesus atau St. Thérèse of Lisieux lahir pada 2 Januari 1873 di Alençon, Perancis, dari orang tua yang taat, dimana kedua orang tua ini telah menerima kehormatan ‘venerabilis’ dari Paus Yohanes Paulus II. Ibunya meninggal ketika dia berusia 4 tahun, dan kemudian dia diasuh oleh ayahnya dan kakak-kakaknya perempuan.
Pada hari Natal 1886, St. Thérèse menerima pencerahan batin, dimana dia mengalami sebuah persekutuan yang amat erat dengan Tuhan, yang dia katakan sebagai sebuah ‘pertobatan yang lengkap’. Hampir setahun kemudian, ketika dia pergi ke Roma tahun 1887, didalam audiensi dengan Paus, dia meminta dan mendapatkan ijin dari Paus Leo XIII untuk memasuki biara Karmel pada usia 15 tahun !
Dengan memasuki biara ini dia membaktikan hidupnya didalam kesucian, melakukan segala sesuatu dengan rasa kasih yang besar dan kepercayaan penuh seperti seorang anak kepada Tuhan. Dia menjalani kehidupan penuh perjuangan didalam biara itu sambil dia berusaha untuk berbuat baik kepada semua orang, terutama orang yang tidak disukainya. Dia selalu berusaha melakukan tindakan kemurahan hati yang kecil-kecil, kurban-kurban kecil sambil tidak mempedulikan semuanya itu. Semua perbuatan ini membantunya untuk memahami lebih jauh dari hidup baktinya itu.
Didalam otobiografinya dia menulis, bahwa dia selalu memimpikan menjadi seorang misionaris, seorang rasul, seorang martir, namun dia tetaplah seorang biarawati di sebuah biara sepi di Perancis. Bagaimana dia bisa memenuhi semua keinginannya ini ?
“Kemurahan hati merupakan kunci dari hidup baktiku. Aku sadar bahwa Gereja memiliki sebuah hati, dan hati itu berkobar oleh kasih. Aku sadar bahwa sebuah kasih bisa mendorong para anggota Gereja untuk bertindak, namun jika kasih ini hilang, maka para rasul tidak akan lagi mewartakan Injil, para martir tidak lagi bersedia mencucurkan darah mereka. Aku sadar bahwa kasih menyelimuti seluruh hidup bakti, kasih adalah segalanya, dan ia bekerja di sembarang tempat dan sembarang waktu.... dengan kata lain, kasih adalah kekal ! Maka didalam kebahagiaanku yang amat besar aku berseru :”Oh Yesus, Kasihku .... hidup baktiku, akhirnya aku menemukannya.... hidup baktiku adalah Kasih !”.
Thérèse menyerahkan dirinya sebagai kurban persembahan bagi Kasih Allah pada 9 Juni 1895, pesta dari Tritunggal Maha Kudus dan pada tahun berikutnya, pada malam antara Kamis Putih dan Jumat Agung, dia mulai merasakan gejala pertama dari sakit TBC, penyakit yang menuntunnya kepada kematian.
Selama sakitnya itu Thérèse merasakan berbagai kunjungan dari Mempelai Ilahi dan dia menerima penderitaan itu sebagai jawaban bagi persembahannya pada tahun sebelumnya. Dia juga mulai menerima godaan iman yang sangat besar yang berlangsung hingga saat kematiannya satu setengah tahun kemudian. “Kalimat terakhirnya:’Tuhanku, aku mengasihiMu !’, dimana hal ini merupakan meterai dari kehidupannya”, demikian kata Paus Yohanes Paulus II
Sejak kematiannya ada jutaan orang yang terinspirasi oleh ‘jalan kecil’nya itu didalam mengasihi Tuhan dan tetangga. Banyak sekali keajaiban yang dipercaya terjadi karena pengantaraannya. Selama kehidupannya dulu dia telah meramalkan melalui kalimat :”Surgaku akan kuhabiskan dengan berbuat baik di dunia ini”.
St. Thérèse dinyatakan sebagai Doktor Gereja oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1997, 100 tahun setelah kematiannya pada usia 24 tahun. Dia adalah wanita ke tiga yang dinyatakan sebagai Doktor Gereja setelah St. Catherine dari Siena dan St. Teresa dari Avila.