Bab 9
Sampai seberapa jauhkah kontemplasi bisa dilakukan melebihi tindakan atau perbuatan baik.
Kini setelah menyadari bahwa segala hal diluar Tuhan adalah merupakan hasil karya dari Pencipta, maka keberadaan dan manfaat dari semua benda ciptaan itu juga terbatas, dan karena semua itu diciptakan dari tidak ada menjadi ada, maka semua itu dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari keadaannya semula yang tidak ada itu. Sementara itu kecenderungan dari benda ciptaan untuk menuju kepada kekosongannya semula menunjukkan bahwa kita menerima keberadaan kita, mempertahankan keberadaan kita, mempertahankan segala perbuatan kita dari saat ke saat, hal ini semua adalah berasal dari Pencipta itu sendiri, bersama dengan sifat apapun yang dimiliki oleh benda ciptaan, sama seperti kita menerima kekurangan dari tingkah laku benda ciptaan, didalam relasinya dengan Dia yang menjalankannya, maka semua itu tetaplah bukan apa-apa sebelum semua itu menjadi ada dan sesuatu itu bersifat terbatas dan sementara. Karena itu marilah segala kontemplasi, kehidupan dan kegiatan kita, hanya terjadi didalam Tuhan saja, berhubungan dengan Tuhan dan mengarah kepada Tuhan yang bisa dan mampu menghasilkan sesuatu hanya dengan sebuah keinginan saja dariNya, yang jauh lebih sempurna dari pada segala yang ada saat ini. Tak ada kontemplasi ataupun buah dari kasih, apakah itu produk dari intelektual atau affektiv, yang lebih bermanfaat, lebih sempurna dan lebih memuaskan dari pada yang diciptakan oleh Tuhan sendiri, Sang Pencipta kebaikan kita yang utama dan dan sejati, melalui siapa dan kepada siapa segalanya menuju. Dia sangat memuaskan, secara tak terbatas, bagi DiriNya dan bagi yang lain-lainnya. Dalam DiriNya Dia mengandung kesederhanaan yang absolut, dan dari keabadian Dia membawa kesempurnaan atas segala hal, dimana tidak satupun yang bukan dari DiriNya, dihadapanNya dan melalui Dia tetaplah menjadi sumber dari segala hal yang bersifat sementara, dan pada siapa tinggallah asal mula yang tak berubah dari segala hal yang berubah. Sementara itu alasan dari keberadaan dari hal-hal yang bersifat sementara ini, yang rasional dan irrasional, ada dalam DiriNya pula. Dia membuat segalanya menjadi lengkap, Dia memenuhi segalanya, secara umum dan secara khusus, secara lengkap dan secara esensiil, dengan DiriNya. Dia lebih erat dan lebih banyak hadir dalam segala sesuatu melalui keberadaanNya dari pada segala hal atas diri mereka sendiri. Karena didalam Dia segalanya dipersatukan dan hidup didalam Dia selamanya. Jika seseorang, karena kelemahannya, atau karena tdak adanya hasil perbuatan intelektualnya, terpikat lama didalam kontemplasi atas benda ciptaan, maka kontemplasi yang dalam dan benar dan bermanfaat ini masih dimungkinkan bagi manusia, sehingga disitu terjadi sebuah lompatan keatas didalam kontemplasi dan meditasinya, apakah hal itu tentang benda ciptaan atau tentang si Pencipta, dan tumbuhlah rasa penghargaan terhadap Allah Pencipta, yang Satu dan Tiga, mengumpul didalam, sehingga orang itu akan berkobar oleh kasih Ilahi dan kehidupan sejati dalam dirinya dan orang lain, hingga dia layak menerima kebahagiaan kehidupan kekal. Tetapi pada orang seperti ini dia musti ingat perbedaan antara kontemplasi yang dilakukan oleh umat Katolik yang taat dengan para filosof berhala. Karena kontemplasi yang dilakukan oleh para filosof itu adalah demi kesempurnaan bagi filosof itu sendiri, dan akibatnya ia terbatas di bidang intelektualnya saja dan tujuannya hanyalah berupa memperoleh pengetahuan intelektual semata. Namun kontemplasi dari para kudus dan umat Katolik yang taat adalah demi kasih kepada Tuhan. Jadi Tuhanlah yang menjadi sumber kontemplasi mereka. Akibatnya, kontemplasi mereka tidak terbatas pada analisa akhir hasil olahan intelek dan pengetahuan mereka, tetapi hasil kontemplasi mereka sampai melintasi batas keinginan melalui kasih mereka kepada Tuhan. Itulah sebabnya para kudus didalam kontemplasi mereka memiliki tujuan utama yaitu kasih kepada Tuhan, karena ternyata lebih memuaskan jika mereka bisa mengenal dan memiliki Tuhan Yesus Kristus secara spirituil melalui rahmat dari pada secara fisik tetapi tanpa rahmat. Selanjutnya, sementara jiwa ditarik dari perlekatan kepada segala sesuatu dan diarahkan kedalam, mata kontemplasinya dibuka lebar dan menghadap sebuah anak tangga, melalui apa ia bisa naik kepada kontemplasi tentang Tuhan. Dengan melalui kontemplasi ini jiwa itu dikobarkan untuk meraih hal-hal yang bersifat kekal dengan melalui hal-hal yang baik dan ilahiah yang dia alami dan dia bisa memandang segala sesuatu dari kejauhan dan seolah semua itu bukanlah apa-apa, tidak berarti. Jika kita mendekati Tuhan melalui jalan penyangkalan diri hanya demi Dia saja, pertama kali kita musti melakukan penyangkalan diri terhadap segala sesuatu yang dialami oleh tubuh, indera, dan imajinasi. Kedua, kita harus menolak hal-hal yang bisa dialami oleh intelek dan yang seolah menjadi milik dirinya sendiri karena hal ini didapatkan didalam benda ciptaan. Ini adalah cara terbaik untuk bersatau dengan Tuhan, menurut Dionysius. Dan inilah awan dimana Allah tinggal, yang dimasuki oleh Musa dan melalui hal ini sampai kepada terang yang tak terjangkaukan. Tentu saja bukanlah hal yang spirituil yang pertama kali datang, tetapi hal-hal yang alami (1 Kor 15:46), sehingga seseorang harus terus melewati tatanan yang alami dari benda ciptaan, dari upaya yang aktiv menuju kontemplasi dan dari keutamaan moral menuju realitas spirituil dan kontemplativ. Akhirnya, jiwaku, mengapa kamu terpaku secara sia-sia kepada banyak hal dan selalu sibuk dengan semua itu ? carilah dan kasihilah satu kebaikan yang utama, yang layak untuk didapatkan dan hal itu sudah cukup bagimu. Amatlah menyedihkan orang yang tahu dan memiliki segala hal kecuali keutamaan ini dan tidak mengetahui adanya keutamaan ini. Sementara itu jika dia tahu segala hal termasuk kebaikan ini, bukanlah karena dia tahu kebaikan ini dia menjadi bahagia, tetapi karena kebaikan dan keutamaan inilah dia bahagia. Itulah sebabnya Yohanes berkata :”Inilah kehidupan kekal yaitu dengan mengenal Dia”, (Yoh.17:3) dan nabi itu juga berkata :”Aku akan merasa puas jika kemuliaanmu menjadi nyata” (Mzm. 17:15).