Wednesday, February 25, 2009

Surat Soeur Thérèse kepada adiknya, Cèline (XVI)



XVI


Cèlineku yang terkasih. Kamu mengatakan bahwa surat-suratku membawa manfaat bagimu. Tentu saja aku berbahagia. Tetapi aku meyakinkan kamu bahwa aku tidaklah salah didalam memahami kutipan ini: “Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, maka sia-sialah orang yang berusaha menegakkannya” (Mzm.26:1). Kepandaian berbicara yang terbesar sekalipun tak bisa menghasilkan sebuah tindakan kasih tanpa adanya rahmat yang menyentuh hati.

Renungkanlah akan buah peach yang indah dengan aroma mawar yang lembut, dengan rasanya yang amat manis sehingga tak ada kepandaian manusia yang bisa membuat rasa manis seperti itu. Katakanlah kepadaku Cèline, apakah buah itu ada demi kepentingan buah peach itu sendiri, sehingga Tuhan menciptakan warna warni yang begitu indah dipandang, laksana beludru yang amat lembut jika disentuh ? Apakah hanya baginya sendiri hingga Tuhan menciptakannya dalam keadaan yang amat manis ? Tidak, semua itu adalah bagi kita. Satu-satunya yang menjadi milik dirinya sendiri dan berperanan utama bagi keberadaannya adalah batu. Ia tak memiliki apa-apa lagi diluar dirinya.

Maka sangatlah menyenangkan bagi Yesus untuk melimpahkan karunia-karuniaNya kepada jiwa-jiwa tertentu yang bertujuan untuk menarik jiwa-jiwa lainnya kepadaNya. Didalam kemurahanNya Dia merendahkan semua itu dan dengan perlahan Tuhan mendorongnya untuk menyadari kelemahannya serta KuasaNya yang maha besar. Kini sifat kerendahan hati ini adalah seperti butiran rahmat yang dikembangkan Tuhan bagi hari terberkati itu, ketika dengan berpakaian keindahan yang tak pernah luntur, maka mereka akan ditempatkan, tanpa ada bahaya untuk terjatuh, di meja perjamuan Surgawi. Adikku yang terkasih, gema yang manis dari jiwaku, Thérèse masih berada jauh dari puncak semangatnya saat ini, namun ketika aku berada dalam keadaan keheningan spirituil ini, aku tak mampu berdoa ataupun melaksanakan keutamaan, aku mencari berbagai kesempatan yang kecil-kecil, untuk melakukan hal-hal yang paling sederhana dan tidak berarti, untuk bisa menyenangkan Yesusku: sebuah senyuman atau kata-kata yang ramah, misalnya, ketika aku ingin melakukan hening, atau menunjukkan bahwa aku merasa bosan. Jika tak ada ksempatan seperti itu, aku akan berusaha mengatakannya berkali-kali didalam hatiku. Meskipun nampaknya api kasih seolah sudah padam, aku masih ingin melemparkan beberapa helai jeramiku kedalam sekam, dan aku percaya bahwa ia akan menyala kembali.

Memang benar bahwa aku tidak selalu setia, namun aku tak pernah merasa takut. Aku menyerahkan diriku di tangan Tuhan. Dia mengajari aku untuk mengambil manfaat dari segala sesuatu, dari yang baik maupun yang jelek, yang Dia temukan ada dalam diriku. (St.Yohanes dari Salib). Dia mengajari aku untuk menanam modal di ‘Bank Kasih’ atau Dia yang bermain modal itu bagiku, tanpa mengatakan kepadaku bagaimana Dia melakukannya, yaitu segala perkaraNya sendiri, bukan perkaraku. Aku hanya perlu menyerahkan diriku sepenuhnya kepadaNya, untuk bertindak tanpa ragu, tanpa keinginan untuk mengetahui apa manfaatnya bagiku.... Lebih dari itu, aku bukanlah anak yang hilang, dan Yesus tak perlu merasa khawatir tentang pesta bagiku, karena aku selalu ada bersamaNya” (Luk.15:3).

Didalam Injil aku telah membaca bahwa si gembala akan meninggalkan kawananNya yang setia di padang gurun untuk mencari dombaNya yang tersesat. Kepercayaan ini amat menyentuh hatiku. Kamu tahu, bahwa Dia terus mengawasi kawananNya. Bagaimana bisa mereka itu tersesat ? Mereka adalah menjadi tawanan Kasih. Dengan cara yang sama Gembala Terkasih dari jiwa kita itu meluputkan kita dari kehadiranNya yang amat manis guna memberikan penghiburan kepada para pendosa. Atau seolah Dia menuntun kita menuju Gunung Tabor hanya untuk sesaat saja.... sebab tanah yang subur selalu berada didalam lembah, sebab disanalah Dia beristirahat di siang hari (Kid.1:6). (Bersambung)