Monday, February 1, 2010

Indulgensi adalah perwujudan dari kerahiman Tuhan



Paus Yohanes Paulus II

Ajaran Gereja Katolik tentang indulgensi merupakan tema pokok dari katekesis Bapa Suci pada saat audiensi hari Rabu, 29 September. Bapa Suci merenungkan tentang pengampunan atas dosa-dosa dari Allah Bapa yang maha rahim. “Titik awal untuk memahami indulgensi adalah percaya akan kelimpahan kerahiman Tuhan yang dinyatakan melalui salib Kristus”.

‘Yesus yang disalib merupakan indulgensi yang luar biasa besarnya dimana Bapa memberikan hal itu kepada umat manusia demi pengampunan atas dosa dan kemungkinan untuk hidup sebagai anak-anak Allah didalam Roh Kudus’, demikian kata Paus. Disini kami berikan tulisan dari Paus yang merupakan seri ke 27 dari berbagai tulisannya mengenai Allah Bapa.

1. Berhubungan erat dengan Sakramen Tobat, renungan kita hari ini terutama berhubungan dengan perayaan tahun yubileum : saya mengacu kepada karunia indulgensi yang diberikan secara berlimpah selama Tahun Yubileum, seperti yang tertulis didalam ‘the Bull Incarnationis mysterium’ serta dekrit tentang ‘the Apostolic Penitentiary’ yang menyertainya.

Ini adalah masalah yang sensitiv, yang telah menerima kesalahan pengertian sepanjang sejarah, yang menimbulkan akibat kurang baik diantara umat kristiani. Didalam konteks ekumenis saat ini, Gereja merasakan kebutuhan akan kebiasaan lama ini agar ia bisa dipahami secara benar dan diterima sebagai perwujudan dari kasih kerahiman Allah. Pengalaman menunjukkan bahwa indulgensi kadang-kadang diterima dengan sikap yang setengah-setengah, sehingga sikap itu kemudian seolah meremehkan karunia Allah ini serta menutupi kebenaran dan nilai yang diajarkan oleh Gereja.

2. Titik awal untuk memahami indulgensi adalah percaya akan kelimpahan kerahiman Tuhan yang dinyatakan melalui salib Kristus. Yesus yang disalib merupakan indulgensi yang luar biasa besarnya dimana Allah Bapa memberikan hal itu kepada umat manusia demi pengampunan atas dosa dan kemungkinan untuk hidup sebagai anak-anak Allah (Jn 1:12-13) didalam Roh Kudus (Cal 4:6; Rom 5:5; 8:15-16).

Tuhan itu mengampuni, tetapi membutuhkan keadilan atau rasa kepuasan.

Didalam logika perjanjian, yang merupakan jantung dari seluruh karya keselamatan, maka karunia pengampunan ini tak akan bisa kita terima jika kita tidak mau menanggapi dan menerimanya.

Dengan prinsip ini tidaklah sulit untuk mengerti bahwa rekonsiliasi dengan Tuhan, meskipun ditawarkan secara cuma-cuma dan berlimpah ruah dari kerahiman Tuhan, tetapi pada saat yang sama ia juga menuntut sebuah proses yang keras yang melibatkan upaya dari masing-masing orang serta melibatkan karya Sakramental dari Gereja. Didalam pengampunan atas dosa yang dilakukan setelah Pembaptisan, proses ini berpusat pada Sakramen Tobat, dan ia terus berlanjut hingga setelah upacara Sakramen itu. Orang itu harus disembuhkan secara bertahap, dari segala pengaruh negativ yang ada dalam dirinya yang disebabkan oleh dosa. (Inilah yang oleh tradisi teologis disebut sebagai ‘hukuman’ dan ‘sisa-sisa dari dosa’).

3. Sepintas, berbicara tentang adanya hukuman setelah menerima pengampunan didalam Sakramen Tobat mungkin nampak tidak konsisten. Namun Perjanjian Lama memperlihatkan kepada kita bahwa sudah wajar jika kita menjalani hukuman pemulihan setelah menerima pengampunan. Tuhan setelah menyatakan DiriNya sebagai ‘Allah yang penuh kerahiman dan kemurahan hati... mengampuni segala ketidak-adilan serta kesalahan dan dosa’, tetapi Dia menambahkan :”tak ada satupun yang terjadi tanpa hukuman” (Kel. 34:6-7).

Didalam Kitab kedua Samuel, Raja Daud mengakui dosanya dengan penuh kerendahan hati setelah dosanya yang berat memperoleh pengampunan dari Tuhan (2 Sam. 12:13), tetapi hal itu tidaklah mencegah pemurnian yang telah diramalkan akan menimpanya (2 Sam. 12:11; 16:21). Kasih kebapaan dari Tuhan tidaklah menyingkirkan hukuman dan bahkan seharusnya hukuman ini dipahami sebagai bentuk keadilan dan kerahiman Tuhan yang bisa memulihkan tatanan yang telah dirusak oleh orang itu demi kebaikan umat manusia secara menyeluruh (Heb 12:4-11).

Maka didalam konteks ini hukuman sementara itu menyatakan penderitaan dari orang-orang yang meskipun telah diperdamaikan dengan Tuhan, tetapi mereka masih memiliki tanda yang berupa sisa-sisa dosa yang tak bisa hilang dari diri mereka secara tuntas sehingga mereka masih belum bisa terbuka sepenuhnya bagi rahmat Tuhan. Dan demi kesembuhannya yang lengkap, si pendosa itu diminta untuk melewati sebuah perjalanan pertobatan menuju kepada kepenuhan kasih.

Didalam proses ini, kerahiman Tuhan akan menolongnya dengan cara yang istimewa. Hukuman sementara itu berfungsi sebagai obat sejauh orang yang bersangkutan membiarkan dirinya tertantang oleh hukuman itu agar dia bisa melaksanakan pertobatan itu dalam dirinya. Inilah arti dari kata ‘kepuasan’ yang diminta didalam Sakramen Tobat.

4. Arti dari indulgensi haruslah dilihat dengan latar belakang pemahaman ini, yaitu pembaharuan yang menyeluruh dari manusia dengan pertolongan rahmat dari Kristus Penebus, melalui perutusan yang dilaksanakan oleh Gereja. Secara historis hal itu dimulai oleh perhatian Gereja awali untuk bisa melaksanakan dan membagikan kerahiman Tuhan dengan cara menyampaikan silih atau tobat kanonikal demi penghapusan dosa secara Sakramental. Keringanan ini diberikan namun dengan kewajiban pribadi maupun komunal, sebagai sebuah pengganti bagi tujuan ‘pengobatan’ yang berupa hukuman tadi.

Kini kita mengerti bahwa sebuah indulgensi adalah sebuah remisi dihadapan Tuhan atas hukuman sementara karena dosa, dimana kesalahan atau kejahatannya telah diampuni, dimana umat kristiani yang taat yang benar-benar berharap, dengan syarat tertentu, melalui tindakan Gereja sebagai ‘perutusan penebusan’, membagikan dan menerapkan dengan kuasanya, harta kekayaan dari kepuasan Kristus dan para kudus (Enchiridion Indulgentiarum, Normae de Indulgentiis, Libreria Editrice Vaticana, 1999, p. 21; cf. Catechism of the Catholic Church, n. 1471).

Gereja memiliki harta kekayaan yang dibagikan melalui indulgensi ini. Pemberian indulgensi ini janganlah dipahami sebagai transfer yang otomatis seperti terhadap benda materi. Tetapi hal itu merupakan ekspresi dari kepercayaan yang penuh dari Gereja bahwa ia didengar oleh Bapa ketika, atas jasa-jasa dari Kristus dan dengan karuniaNya pula, dan dari Bunda Maria serta dari para kudus, Bunda Maria meminta kepada Puteranya untuk mengurangi ataupun menghapuskan unsur yang menyakitkan dari hukuman, dengan cara memberikan sisi atau unsur pengobatan dari hukuman itu melalui saluran-saluran rahmat yang lain. Didalam misteri kebijaksanaan ilahi yang tak dapat kita selami, karunia pengantaraan ini juga bermanfaat bagi umat yang meninggal, yang menerima buahnya sesuai dengan keadaan mereka.

Pertobatan batin diperlukan untuk memperoleh manfaat dari indulgensi.

5. Kita bisa melihat bahwa indulgensi bukanlah semacam diskon dalam kewajiban pertobatan kita, tetapi ia adalah sebagai alat penolong yang segera, amat berlimpah dan radikal. Keadaan spirituil yang diperlukan untuk bisa menerima indulgensi penuh adalah berupa pembuangan semua keterikatan dengan dosa, bahkan termasuk dosa ringan (Enchiridion Indulgentiarum, p. 25).

Karena itu adalah keliru jika kita berpikir bahwa kita bisa menerima karunia indulgensi ini hanya dengan cara melakukan tindakan luar yang kelihatan saja. Sebaliknya indulgensi itu diperlukan sebagai pernyataan dan dukungan bagi kemajuan pertobatan kita. Hal ini memperlihatkan iman kita akan kerahiman Tuhan dan akan realitas luar biasa dari penyatuan, dimana Kristus telah mendapatkan penyatuan ini yang tak terpisahkan antara Gereja dengan DiriNya sebagai Tubuh dan MempelaiNya.

--------------------------------------------------------------------------------

Taken from: L'Osservatore Romano, Weekly Edition in English, 6 October 1999, page 15

L'Osservatore Romano is the newspaper of the Holy See.

The Weekly Edition in English is published for the US by:

The Cathedral Foundation, L'Osservatore Romano English Edition

320 Cathedral St., Baltimore, MD 21201,

Subscriptions: (410) 547-5315, Fax: (410) 332-1069, lormail@catholicreview.org